Jelang pertarungan yang sangat dinantikan di UFC 319 pada 16 Agustus 2025 mendatang, perhatian para pengamat dan penggemar MMA tertuju pada duel kelas menengah antara Khamzat Chimaev dan Dricus Du Plessis. Namun, bukan hanya soal siapa yang akan menang, ada pula kekhawatiran lain yang mencuat yakni dampak jangka panjang terhadap divisi ini, terutama jika Chimaev keluar sebagai pemenang.

Salah satu suara kritis datang dari Din Thomas, mantan petarung dan analis MMA, yang menilai bahwa kemenangan Chimaev justru bisa membawa tantangan tersendiri bagi UFC, khususnya dalam menjaga dinamika dan persaingan sehat di kelas menengah.

“Kalau Chimaev menang, itu bisa jadi bencana,” ujar Thomas. Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Menurutnya, status Chimaev sebagai petarung top belum sepenuhnya diimbangi dengan konsistensi penampilan, terutama dari segi frekuensi bertanding.

Selama empat tahun terakhir, Chimaev memang hanya mencatatkan lima penampilan di oktagon. Padahal, dalam awal kariernya yang meledak pada tahun 2020, ia sempat mengukir tiga kemenangan hanya dalam 66 hari. Penurunan frekuensi bertanding tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor kesehatan serta masalah non-teknis lainnya.

Thomas menyoroti pentingnya keberadaan juara aktif dalam menjaga kelangsungan sebuah divisi. Ia menegaskan, “Saya benci melihat kelas menengah berhenti. Juara harus bertarung dua sampai tiga kali setahun agar divisi ini tetap hidup.” Dalam konteks ini, Chimaev dianggap berisiko menghambat pergerakan kompetisi apabila berhasil merebut sabuk dan kemudian tidak mampu mempertahankannya secara rutin.

Pertarungan mendatang melawan Du Plessis bukan hanya soal perebutan sabuk semata. Bagi Chimaev, laga ini juga menjadi penentu masa depannya sebagai figur penting dalam divisi kelas menengah. Jika ia berhasil menang, pertanyaan selanjutnya bukan soal siapa lawan berikutnya, tetapi apakah ia mampu menjaga jadwal pertarungan reguler sebagai seorang juara sejati.

Keraguan seperti ini bukan hal baru di dunia MMA. UFC sebagai organisasi terbesar di olahraga ini tentu sangat membutuhkan juara-juara yang tak hanya hebat di dalam oktagon, tapi juga tersedia dan siap bertarung dalam jangka waktu yang terukur. Konsistensi menjadi kata kunci, karena di sinilah daya tarik kompetisi bertumpu.

Selama ini, UFC selalu menekankan pentingnya kedisiplinan dan profesionalitas. Petarung bukan hanya dituntut menang, tetapi juga menjaga kondisi fisik, mental, dan komitmen untuk terus aktif bertarung. Dalam konteks ini, Chimaev masih harus membuktikan bahwa dirinya mampu memenuhi semua aspek tersebut jika ingin benar-benar menjadi juara yang diakui dalam jangka panjang.

Tidak sedikit pengamat yang setuju dengan Thomas. Kekhawatiran bahwa divisi kelas menengah bisa stagnan jika sabuk jatuh ke tangan petarung yang jarang aktif adalah kekhawatiran yang masuk akal. Apalagi, divisi ini selama ini dikenal sebagai salah satu yang paling kompetitif di UFC.

Absennya Chimaev dalam berbagai kesempatan sebelumnya memang menjadi sorotan. Meskipun ia tetap disegani karena kemampuan teknik dan fisiknya, kredibilitas sebagai calon juara sempat diragukan karena ketidakhadirannya di sejumlah laga besar. Oleh karena itu, duel melawan Du Plessis di Chicago mendatang menjadi panggung yang sangat krusial, bukan hanya untuk gelar, tetapi juga untuk reputasi.

Di sisi lain, Dricus Du Plessis datang dengan rekam jejak yang lebih stabil dalam hal partisipasi bertanding. Jika Chimaev mampu menaklukkannya, tentu namanya akan semakin melambung. Namun, tekanan justru bertambah berat jika ia menang, karena sorotan akan berpindah ke pertanyaan: apakah ia bisa menjaga sabuk, atau justru memperlambat roda kompetisi?

Dalam ekosistem UFC yang sangat dinamis, tak ada ruang untuk juara pasif. Fans menginginkan pertarungan-pertarungan besar dalam tempo yang teratur. Promotor butuh wajah juara yang dapat dipasarkan, dan para pesaing di kelas yang sama menuntut kejelasan jalur perebutan sabuk. Chimaev, jika berhasil menang, harus menjawab semua ekspektasi itu.

Sementara itu, Din Thomas tetap pada pendiriannya. Menurutnya, terlalu banyak hal di luar kontrol yang menyertai karier Chimaev, mulai dari kondisi fisik hingga persoalan teknis di luar ring. “Divisi ini harus bergerak. Kalau tidak, semua jadi mandek,” ujarnya lagi.

Kini, bola ada di tangan Chimaev. Kemenangan di UFC 319 bisa menjadi batu loncatan besar dalam kariernya, tapi juga membawa tanggung jawab yang lebih berat. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk kelangsungan dan daya saing kelas menengah UFC secara keseluruhan.

Pertarungan pada 16 Agustus nanti jelas lebih dari sekadar perebutan gelar. Ini tentang masa depan satu divisi, reputasi sang petarung, dan komitmen terhadap olahraga yang menuntut kehadiran nyata, bukan hanya nama besar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Explore More

Pensiun di Puncak Skandal: Jon Jones Gantung Sarung Tangan Ditemani Masalah Hukum Baru!

Jon Jones resmi mengakhiri kariernya pada 21 Juni 2025. Dengan catatan fantastis satu kekalahan dalam 30 pertarungan, petarung berjuluk Bones akan selalu dikenang sebagai petarung terbaik di dunia UFC, meskipun

UFC Vegas 108 – Dustin Poirier Kebanyakan Gagal, Muridnya Chris Duncan Malah Mesra dengan Kuncian Guillotine

Petarung UFC, Chris Duncan, sukses meraih 2 kemenangan terakhir dengan kuncian guillotine choke sementara jagoan elite yang mengajarinya, Dustin Poirier, malah tidak pernah berhasil melakukannya. Duncan adalah salah satu jagoan

UFC 319 – Penantang Teratas Islam Makhachev Beri Dukungan Moral untuk Khamzat Chimaev

Penantang teratas Islam Makhachev di kelas ringan, Arman Tsarukyan, memberikan dukungan penuh kepada Khamzat Chimaev jelang tarung di UFC 319. Khamzat Chimaev bakal menjalani pertarungan sengit di UFC 319. Petarung asal Rusia itu menantang pemegang sabuk